Yuli, Membaca Puisi Sambil Sembunyikan Kesedihannya
Senyuman mulai mekar di bibir kecilnya Yuli yang sedang menjalani pengobatan di RSUD dr Slamet Garut (foto FB Apip Kurniadin)

Minggu (3/12) malam, Apip Kurniadin, sahabat saya di Bungbulang Garut, mengirim sebuah pesan. Pesan pendek saja sebenarnya, tapi sungguh membuat risau. Katanya, ada anak perempuan, Yuliani namanya, warga Rancawareng Bungbulang, tergeletak sakit dengan tumor di payudara sudah sebesar semangka. Tapi anak itu hanya bisa meringkuk di rumah. Tak ada usaha pengobatan lebih lanjut karena biaya untuk berobat jauh dari kemampuan keluarga. Pernah sebenarnya dibawa ke rumah sakit, tapi keluarganya kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan.

Saya lalu meminta Apip, yang sudah lama bergiat di Garut Selatan untuk urusan literasi, agar mengirim data anak itu. Apip kemudian memberikan pesan yang jauh lebih mengerikan. Katanya, Oktober 2016 setelah diperiksa di lab, Yuliani didiagnosa menderita fibroadenoma mammae sinistra, sejenis tumor jinak yang bisa tumbuh di payudara remaja perempuan.

Anak itu sempat dioperasi, dan pulang. Beberapa bulan kemudian tumor tumbuh lagi. Keluarganya kembali membawa Yuliani berobat. Sayang, untuk mengangkat tumor itu setidaknya diperlukan biaya 14 juta rupiah. Keluarga akhirnya menyerah. Sementara kartu BPJS yang dimiliki Yuliani, sudah beberapa bulan iurannya tak bisa dilunasi. Ibunya hanya berjualan kecil-kecilan di pasar. Sementara bapaknya hanya seorang supir truk yang bolak-balik Garut-Bungbulang sebagai kuli harian.

Penyakit anak itu rupanya semakin menjadi-jadi dengan disertai infeksi. Namun semua itu disembunyikan dari keluarganya. Ia berlaku seperti remaja normal dan biasa melahap makanan seperti anak lain yang sehat. Akhir Oktober 2017, ia bahkan ikut serta dalam lomba baca puisi Rendra yang dilaksanakan di UPI Bandung. Saat itulah, Hesty Nuryuliasari, guru pembimbingnya yang juga istri Apip, curiga karena payudara sebelah kiri anak itu terlihat semakin membesar. Awalnya Yuliani bergeming. Tetapi setelah gurunya itu mendesak agar ia mau berterus terang, terkuaklah!

Sepulang dari Bandung, anak itu tak bisa bersekolah lagi. Guru-gurunya di SMAN 7 Garut juga tidak banyak yang tahu. Ia hanya bisa meringkuk di rumah. Hingga Apip mengirim pesan, sudah sebulan lebih Yuliani terkapar dengan benjolan yang semkain besar dan mengeluarkan cairan. Sialnya, pesan Apip juga menyertakan kondisi rumah orangtua anak itu yang mencemaskan. Rumah panggung yang kecil saja. Bilik bambunya terkulai di sana-sini, dan sebagian lagi ditutupi pelastik agar air hujan tak masuk. Sebagian atapnya berantakan karena sempat terkena tiupan angin besar.

Pesan Apip itu kemudian saya teruskan kepada beberapa teman, karena saya sendiri sulit berpikir harus membantu dengan apa, kecuali minta bantuan lagi pada orang lain. Saya juga sempat membuat meme agar orang terketuk hati menolong Yuliani. Syukurlah beberapa teman kemudian merespon, dan seperti saya, ada di antara mereka kemudian menyebarkan kembali pesan itu hingga menjadi viral.

Jum’at (8/12), saya mendapat kabar dari Hesty, bahwa Yuliani dijenguk Camat Bungbulang, Pa Heri Hermawan. Pa Camat kemudian berusaha untuk membawa Yuliani ke Puskesmas hari itu juga. Setelah Jumatan, Yuliani kemudian dirujuk ke RSUD dr Slamet Garut. Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari Bungbulang, ambulans yang membawa anak itu tiba di rumahsakit sekitar jam lima sore. Saya menjemputnya di depan IGD. Di sana juga sudah ada Ibu Asri Dewi Latiefah, istri Pa Heri, yang juga ternyata apoteker di RS Intan Husada Garut. Saat melihat kondisi anak itu, saya benar-benar ingin menangis.

Pihak rumahsakit terbilang sigap. Selepas magrib, Yuliani sudah bisa mendapatkan kamar perawatan di ruang Mutiara Bawah kamar 6. Legalah hati saya, karena baik Pa Camat dan Ibu serta petugas rumahsakit sangat memberikan perhatian khusus kepada Yuliani. Belakangan saya mendapat informasi dari portal berita lokal, bahwa Wakil Bupati Garut, dr Helmi Budiman, langsung memerintahkan Pak Camat untuk cepat menangani Yuliani setelah kabarnya viral di media sosial. Sabtu Malam (9/12) Ibu Hani Helmi Budiman, langsung menjenguk Yuliani yang sudah dipindahkan ke kamar 5. Hingga hari ini, Yuliani masih diobservasi pihak rumahsakit, untuk kemudian dilakukan tindakan medis yang diperlukan. Para donatur berdatangan, mengulurkan tangan memberi bantuan.

Saya tidak tahu apa yang kemudian terjadi jika pesan saya, juga pesan dari Apip dan Hesty tidak mendapatkan respon dari teman-teman. Yuliani mungkin masih terbaring di rumahnya yang berantakan. Ia hanya bisa menanggung penderitaan tanpa harapan. Saya kira, tidak ada pihak yang patut untuk disalahkan karena Yuliani sendiri berusaha menyembunyikan penyakitnya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa prilaku orang yang hidup dalam kemiskinan bisa bersikap apatis, seperti Yuliani. Tapi sikap apatis Yuliani juga tidak bisa disalahkan. Ia hanya berusaha tidak menjadi beban keluarga.

Saya merasakan betul bagaimana orang hidup dalam kemiskinan. Sikap seseorang dalam balutan kemiskinan akan sangat dipengaruhi kualitas mentalnya. Jika ia menyerah dengan keadaan, maka kemungkinannya hanya dua: nekat atau apatis. Kita banyak mendengar orang yang karena miskin dan lapar lalu nekat mencuri dan tak sedikit yang berujung kematian. Sementara yang apatis akan menganggap dunia tak berguna lagi dan membiarkan hidup apa adanya.

Yuliani rupanya terbelenggu sikap apatis itu. Padahal usianya baru 17. Sekolahnya baru kelas XII SMA. Kepada Hesty ia pernah mengutarakan keinginanya untuk kuliah. Tapi saya yakin ia mengatakan itu tidak dengan keyakinan yang penuh, seperti pernah saya alami saat SMA dulu. Pasrah dengan keadaan, adalah jalan terbaik untuk tidak nekat dan babak belur. Saya kira, orang semuda Yuliani masih belum bisa memaknai kata-kata bijak: jika Tuhan menutup pintu, akan ada jendela yang terbuka.

Mudah-mudahan dengan kejadian ini, Yuliani mengetahui bahwa masih ada jalan lain untuk terus menyalakan lilin harapan. Dan saya harapkan, suatu saat, ia akan mengerti bahwa kemiskinan perlu dihadapi dengan mental yang baik, jika kita tidak mau terjerumus pada sikap yang apatis dan mampus.

Sementara pada mereka yang berhati baik saya hanya ingin menyampakian kata-kata yang pernah diucapkan mendiang Nelson Mandela: mengatasi kemiskinan bukan sebuah sikap amal. Memerangi kemiskinan adalah tindakan keadilan dan merupakan tindakan melindungi hak asasi manusia yang fundamental, hak atas martabat dan kehidupan yang layak. Selagi kemiskinan berlanjut, tidak ada kemerdekaan sejati.
Minggu (3/12) malam, Apip Kurniadin, sahabat saya di Bungbulang Garut, mengirim sebuah pesan. Pesan pendek saja sebenarnya, tapi sungguh membuat risau. Katanya, ada anak perempuan, Yuliani namanya, warga Rancawareng Bungbulang, tergeletak sakit dengan tumor di payudara sudah sebesar semangka. Tapi anak itu hanya bisa meringkuk di rumah. Tak ada usaha pengobatan lebih lanjut karena biaya untuk berobat jauh dari kemampuan keluarga. Pernah sebenarnya dibawa ke rumah sakit, tapi keluarganya kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan.

Saya lalu meminta Apip, yang sudah lama bergiat di Garut Selatan untuk urusan literasi, agar mengirim data anak itu. Apip kemudian memberikan pesan yang jauh lebih mengerikan. Katanya, Oktober 2016 setelah diperiksa di lab, Yuliani didiagnosa menderita fibroadenoma mammae sinistra, sejenis tumor jinak yang bisa tumbuh di payudara remaja perempuan.

Anak itu sempat dioperasi, dan pulang. Beberapa bulan kemudian tumor tumbuh lagi. Keluarganya kembali membawa Yuliani berobat. Sayang, untuk mengangkat tumor itu setidaknya diperlukan biaya 14 juta rupiah. Keluarga akhirnya menyerah. Sementara kartu BPJS yang dimiliki Yuliani, sudah beberapa bulan iurannya tak bisa dilunasi. Ibunya hanya berjualan kecil-kecilan di pasar. Sementara bapaknya hanya seorang supir truk yang bolak-balik Garut-Bungbulang sebagai kuli harian.

Penyakit anak itu rupanya semakin menjadi-jadi dengan disertai infeksi. Namun semua itu disembunyikan dari keluarganya. Ia berlaku seperti remaja normal dan biasa melahap makanan seperti anak lain yang sehat. Akhir Oktober 2017, ia bahkan ikut serta dalam lomba baca puisi Rendra yang dilaksanakan di UPI Bandung. Saat itulah, Hesty Nuryuliasari, guru pembimbingnya yang juga istri Apip, curiga karena payudara sebelah kiri anak itu terlihat semakin membesar. Awalnya Yuliani bergeming. Tetapi setelah gurunya itu mendesak agar ia mau berterus terang, terkuaklah!

Sepulang dari Bandung, anak itu tak bisa bersekolah lagi. Guru-gurunya di SMAN 7 Garut juga tidak banyak yang tahu. Ia hanya bisa meringkuk di rumah. Hingga Apip mengirim pesan, sudah sebulan lebih Yuliani terkapar dengan benjolan yang semkain besar dan mengeluarkan cairan. Sialnya, pesan Apip juga menyertakan kondisi rumah orangtua anak itu yang mencemaskan. Rumah panggung yang kecil saja. Bilik bambunya terkulai di sana-sini, dan sebagian lagi ditutupi pelastik agar air hujan tak masuk. Sebagian atapnya berantakan karena sempat terkena tiupan angin besar.

Pesan Apip itu kemudian saya teruskan kepada beberapa teman, karena saya sendiri sulit berpikir harus membantu dengan apa, kecuali minta bantuan lagi pada orang lain. Saya juga sempat membuat meme agar orang terketuk hati menolong Yuliani. Syukurlah beberapa teman kemudian merespon, dan seperti saya, ada di antara mereka kemudian menyebarkan kembali pesan itu hingga menjadi viral.

Jum’at (8/12), saya mendapat kabar dari Hesty, bahwa Yuliani dijenguk Camat Bungbulang, Pa Heri Hermawan. Pa Camat kemudian berusaha untuk membawa Yuliani ke Puskesmas hari itu juga. Setelah Jumatan, Yuliani kemudian dirujuk ke RSUD dr Slamet Garut. Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari Bungbulang, ambulans yang membawa anak itu tiba di rumahsakit sekitar jam lima sore. Saya menjemputnya di depan IGD. Di sana juga sudah ada Ibu Asri Dewi Latiefah, istri Pa Heri, yang juga ternyata apoteker di RS Intan Husada Garut. Saat melihat kondisi anak itu, saya benar-benar ingin menangis.

Pihak rumahsakit terbilang sigap. Selepas magrib, Yuliani sudah bisa mendapatkan kamar perawatan di ruang Mutiara Bawah kamar 6. Legalah hati saya, karena baik Pa Camat dan Ibu serta petugas rumahsakit sangat memberikan perhatian khusus kepada Yuliani. Belakangan saya mendapat informasi dari portal berita lokal, bahwa Wakil Bupati Garut, dr Helmi Budiman, langsung memerintahkan Pak Camat untuk cepat menangani Yuliani setelah kabarnya viral di media sosial. Sabtu Malam (9/12) Ibu Hani Helmi Budiman, langsung menjenguk Yuliani yang sudah dipindahkan ke kamar 5. Hingga hari ini, Yuliani masih diobservasi pihak rumahsakit, untuk kemudian dilakukan tindakan medis yang diperlukan. Para donatur berdatangan, mengulurkan tangan memberi bantuan.

Saya tidak tahu apa yang kemudian terjadi jika pesan saya, juga pesan dari Apip dan Hesty tidak mendapatkan respon dari teman-teman. Yuliani mungkin masih terbaring di rumahnya yang berantakan. Ia hanya bisa menanggung penderitaan tanpa harapan. Saya kira, tidak ada pihak yang patut untuk disalahkan karena Yuliani sendiri berusaha menyembunyikan penyakitnya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa prilaku orang yang hidup dalam kemiskinan bisa bersikap apatis, seperti Yuliani. Tapi sikap apatis Yuliani juga tidak bisa disalahkan. Ia hanya berusaha tidak menjadi beban keluarga.

Saya merasakan betul bagaimana orang hidup dalam kemiskinan. Sikap seseorang dalam balutan kemiskinan akan sangat dipengaruhi kualitas mentalnya. Jika ia menyerah dengan keadaan, maka kemungkinannya hanya dua: nekat atau apatis. Kita banyak mendengar orang yang karena miskin dan lapar lalu nekat mencuri dan tak sedikit yang berujung kematian. Sementara yang apatis akan menganggap dunia tak berguna lagi dan membiarkan hidup apa adanya.

Yuliani rupanya terbelenggu sikap apatis itu. Padahal usianya baru 17. Sekolahnya baru kelas XII SMA. Kepada Hesty ia pernah mengutarakan keinginanya untuk kuliah. Tapi saya yakin ia mengatakan itu tidak dengan keyakinan yang penuh, seperti pernah saya alami saat SMA dulu. Pasrah dengan keadaan, adalah jalan terbaik untuk tidak nekat dan babak belur. Saya kira, orang semuda Yuliani masih belum bisa memaknai kata-kata bijak: jika Tuhan menutup pintu, akan ada jendela yang terbuka.

Mudah-mudahan dengan kejadian ini, Yuliani mengetahui bahwa masih ada jalan lain untuk terus menyalakan lilin harapan. Dan saya harapkan, suatu saat, ia akan mengerti bahwa kemiskinan perlu dihadapi dengan mental yang baik, jika kita tidak mau terjerumus pada sikap yang apatis dan mampus.

Sementara pada mereka yang berhati baik saya hanya ingin menyampakian kata-kata yang pernah diucapkan mendiang Nelson Mandela: mengatasi kemiskinan bukan sebuah sikap amal. Memerangi kemiskinan adalah tindakan keadilan dan merupakan tindakan melindungi hak asasi manusia yang fundamental, hak atas martabat dan kehidupan yang layak. Selagi kemiskinan berlanjut, tidak ada kemerdekaan sejati. *** Darpan