Sungai Tjimanoek saat tenang, sekitar tahun 1910. Tampak rakit penyeberangan di sebuah lokasi di sungai Tjimanoek Garoet, dengan latar belakang pemandangan gunung Tjikoerai. Foto: KITLV
Mochamad Satria/ Mang Naratas
Mochamad Satria/ Mang Naratas

SELASA malam (20/9/2016) tampaknya akan menjadi hari paling menyedihkan bagi masyarakat Kabupaten Garut. Betapa tidak, disaat di sepanjang aliran sungai Cimanuk, tiba-tiba air bah datang dan menyergap dengan cepat. Akibatnya puluhan orang hanyut, ratusan rumah terendam, puluhan fasilitas publik rusak dan tak terbilang lagi harta benda yang hilang

sekejap mata. Hingga tulisan ini dimuat korban terus bertambah, sementara puluhan lainnya belum ditemukan, tim penanggulangan bencana bahkan mengirimkan relawan untuk terus melakukan pencarian korban hingga Waduk Jatigede Sumedang yang berjarak puluhan kilometer dari Garut.

Banyak orang yang mengira, banjir bandang Cimanuk dengan ke rusakan yang begitu masif baru pertama kali terjadi di Garut. Sebagaian lainnya bahkan menyebut peristiwa ini adalah bencana banjir terbesar yang pernah terjadi di kota ini. Beragam pendapat tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, ternyata 96 tahun yang lalu Cimanuk penah mengamuk, salah satu tempatnya persis seperti lokasi sekarang yaitu sekitar RSUD dr Slamet.

Seorang pemerhati sejarah Garut yang juga seorang bloger, Mochamad Satria, beberapa saat setelah terjadinya bencana dalam blog pribadinya menulis,resiko meluapnya sungai Cimanuk sudah dikhawatirkan warga Garut waktu itu, saat pemerintah Belanda akan membangun rumah sakit. Dari dokumen yang berhasil diperoleh Mochamad Satria terungkap, pada tahun 1919 muncul petisi dari warga yang menolak berdirinya rumah sakit di daerah tersebut.

Sungai Tjimanoek saat tenang, sekitar tahun 1910. Tampak rakit penyeberangan di sebuah lokasi di sungai Tjimanoek Garoet, dengan latar belakang pemandangan gunung Tjikoerai. Foto: KITLV
Sungai Tjimanoek saat tenang, sekitar tahun 1910. Tampak rakit penyeberangan di sebuah lokasi di sungai Tjimanoek Garoet, dengan latar belakang pemandangan gunung Tjikoerai. Foto: KITLV

Penolakan ini diberitakan surat kabar De Preanger-bode, 12 April 1919. Warga beralasan, selain pembelian lahan yang melebihi kebutuhan dan keharusan membangun jembatan penghubung yang berimplikasi  pada biaya, mereka juga khawatir  adanya resiko banjir di daerah rawa di sana. Ketakutan warga cukup beralasan karena lahan yang akan dibangun rumah sakit itu memang berada di pertemuan tiga sungai: Cipeujeuh, Cikamiri, dan Cimanuk.

Petisi keberatan warga akhirnya terbukti, banjir bandang pun terjadi tanggal 25 Oktober 1920. Mochamad Satria menulis, Surat Kabar De Preanger-bode pada tanggal 25 dan 26 Oktober 1920 memberitakan, hujan deras yang turun sehari semalam mengakibatkan sungai Cimanuk meluap. Akibatnya areal pesawahan yang luas di cekungan Cimanuk terendam. Kolam-kolam

ikan dan beberapa jembatan desa jebol tergerus air.

Dalam tulisan di www.naratasgaroet.wordpress.com, bloger yang akrab dipanggil Mang Naratas ini, mengungkapkan pula , banjir besar Cimanuk pernah terjadi 20 tahun sebelumnya yang menyebabkan jembatan Cimanuk di Bayongbong jebol, sehingga besoknya jalan menuju Pameungpeuk ditutup. _Herdy M Pranadinata