Kesigapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dalam merespon dinamika proses belajar di tengah pandemi Covid-19 patut diapresiasi dengan baik. Bersama pihak terkait dari Kemenko PMK, Kemenag, Kemenkes, Kemendagri, serta BNPB Nasional melalui siaran virtualnya pada Jumat (7/8/2020), telah sepakat mengeluarkan kebijakan baru perihal pembelajaran di masa pandemi, yang salah satunya yaitu penerbitan kurikulum darurat sebagai panduan dalam melaksanakan proses belajar di tengah pandemi Covid-19.

Kebijakan tersebut merupakan respons atas beberapa kendala pembelajaran secara jarak jauh (PJJ/daring) selama ini, baik kendala dari guru, orang tua, maupun peserta didik. Selama PJJ, guru merasa kesulitan dalam mengelola pembelajaran akibat keterbatasan jam waktu mengajar, orang tua tidak mampu mendampingi putra-putrinya selama belajar, serta sulitnya konsentrasi siswa dalam memahami setiap materi pembelajaran. Kendala yang paling utama yaitu kurangnya akses ke sumber belajar, baik karena minimnya jangkauan listrik/internet, maupun keterbatasan ketersediaan dana pengadaan smartphone maupun kuota internet bagi orang tua yang penghasilannya di bawah rata-rata.

Kurikurum darurat secara formal tercantum dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 yang berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan Dalam Kondisi Khusus.  Inti utama dari kurikulum darurat tersebut yaitu tentang penyesuaian satuan pendidikan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Satuan pendidikan dari mulai pendidikan anak usia dini (PAUD/TK/RA), pendidikan dasar (SD/MI), hingga pendidikan menengah (SMP/MTs, SMA/SMK/MA) yang berada pada daerah yang ditetapkan sebagai daerah dalam kondisi khusus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dalam hal ini sekolah yang berada di daerah zona kuning dan hijau Covid-19 dapat menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didiknya.

Setiap satuan pendidikan diberikan kebebasan untuk memilih salah satu opsi dari kurikulum darurat, semisal tetap mengacu pada kurikulum nasional, menggunakan kurikulum darurat, atau melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri yang dilakukan masing-masing stakeholder sekolah, dengan catatan tetap mengacu pada juknis dan juklak kurikulum nasional yang ada.

Kurikulum darurat sejatinya merupakan kurikulum yang dibuat sebagai penyederhanaan dari kurikulum nasional. Di dalamnya terdapat regulasi pengurangan kompetensi dasar dari setiap mata pelajaran, serta penyederhanaan pemenuhan jumlah jam mengajar bagi setiap guru yang beban kerjanya tidak lagi harus minimal 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam satu minggu. Dua regulasi tersebut secara formal diatur dalam keputusan Balitbang Nomor 018/H/2020 Tanggal 5 Agustus 2020 tentang Kompetensi Inti & Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada PAUD, Dikdas, dan Dikmen berbentuk Sekolah Atas untuk Kondisi Khusus.

Kurikulum

Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai regulasi yang mengatur proses pendidikan di Indonesia menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan. Dalam menyusun sebuah kurikulum, sedikitnya harus mempertimbangan tiga aspek yakni kondisi satuan pendidikan, potensi daerah, serta karakteristik peserta didik. Dengan demikian, tujuan pendidikan hanya dapat dicapai apabila kurikulum yang digunakannya mampu adaptif dengan kondisi perkembangan zaman.

Istilah kurikulum pada awalnya berasal dari bahasa Latin “curriculum” yang berarti “a running course, or race course, especially a chariot race course”, dan terdapat pula dalam bahasa Prancis “courier” artinya “to run” atau berlari. Istilah ini kemudian diadopsi oleh dunia pendidikan sebagai “courses” atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar pendidikan atau ijazah.

Menurut Sukmara (2007: 9) kurikulum dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan sehingga dituntut memiliki sifat anticipatory, bukan hanya sebagai reportial. Fungsi kurikulum harus dapat “meramalkan” kejadian masa yang akan datang, bukan hanya melaporkan keberhasilan belajar peserta didik saat proses belajar. Hal ini berarti, kurikulum yang baik seharusnya dapat memberikan acuan bagi para peserta didik untuk lebih percaya diri menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya. Terlebih keberadaan kurikulum akan dapat memberikan manfaat bagi keberlangsungan hidup peserta didik ketika hidup bermasyarakat di luar lingkungan sekolah.

Tampaknya, definisi kurikulum menurut Smith (1957:3) yang menekankan aspek sosial dalam capaian keberhasilan peserta didik menjadi salah satu pertimbangan yang relevan apabila digunakan sebagai acuan kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan dikatakan berhasil apabila semua peserta didik dapat dididik untuk menjadi anggota masyarakat. Identitas kepribadian dan kemampuan akademik peserta didik nantinya diharapkan dapat membawa perubahan bagi keberlangsungan kehidupan dirinya ketika berada di luar lingkungan sekolahnya, terutama di lingkungan keluarganya masing-masing.

Jenis Kurikulum

Seiring dengan perkembangan zaman dan perjalanan panjang sejarah pendidikan Indonesia, terutama setelah negara Indonesia merdeka pada tahun 1945, dinamika perubahan kurikulum dari waktu ke waktu mengalami pasang surut. Perubahan-perubahan kurikulum tampak dipengaruhi oleh kondisi politik, ekonomi, sosial, maupun budaya negara yang sedang berlangsung.

Dalam kurun waktu 75 tahun pasca-kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, sedikitnya telah terjadi beberapa perubahan kurikulum pendidikan. Hal yang menjadi dasar banyaknya perubahan itu disesuaikan dengan kondisi negara serta kemampuan sumber daya manusia dalam menyusun kurikulum pendidikan. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi yaitu pertimbangan kesiapan peserta didik dalam menerima kurikulum pendidikan.

Pertama, Kurikulum Rentjana Pelajaran 1947-1952, yaitu kurikulum yang dibuat berdasarkan pertimbangan politis. Ini adalah kurikulum pertama sejak Indonesia merdeka. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis karena masih terfokus pada usaha mempertahankan kepentingan nasional dari penjajahan. Saat inilah mulai ditetapkannya pendidikan yang berasaskan Pancasila. Karena kurikulum ini lahir saat Indonesia baru merdeka, maka pendidikan yang diajarkan lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia merdeka, berdaulat, dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi. Fokus rencana pelajarannya tidak menekankan kepada pendidikan pikiran, melainkan hanya pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat yang baik.

Kedua, Kurikulum Rentjana Pendidikan 1964. Kurikulum ini bercirikan bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD. Sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional atau artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani.

Ketiga, Kurikulum 1968. Kurikulum ini berkaitan dengan perpindahan pemerintahan masa orde lama ke masa orde baru, dari pemerintahan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Ciri muatan kurikulumnya mulai mengedepankan unsur teoretis. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan untuk mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik sehat dan kuat.

Keempat, Kurikulum 1975-1984. Kurikulum ini mengusung pendekatan proses keahlian. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Oleh karena itu keberhasilan pendidikan paling besar ditentukan oleh keaktifan siswa dalam proses belajar. Pada perkembangan selanjutnya kurikulum ini disebut sebagai kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), yaitu model pembelajaran yang menitikberatkan pada keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.

Kelima, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999. Kurikulum ini bertujuan untuk menumbuhkan kecerdasan peserta didik baik secara nasional maupun lokal. Selain terdapat pelajaran-pelajaran yang bersifat umum, pelajaran-pelajaran yang bersifat lokal juga menjadi salah satu hal yang diprioritaskan.

Keenam, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004. Kurikulum ini menitikberatkan pada pemilihan kompetensi yang sesuai dengan spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi dan pengembangan pembelajaranya. KBK mempunyai ciri-ciri pada penekanan untuk mewujudkan ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman, serta penggunaan pendekatan dan metode yang bervariasi. Yang menjadi sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

Ketujuh, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini hampir mirip dengan Kurikulum 2004, tetapi ada perbedaan dalam hal kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada jiwa dari desentralisasi sistem pendidikan Indonesia. Pada Kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru dituntut mampu mengembangkan sendiri silabus dan penilaian sesuai kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran dihimpun menjadi sebuah perangkat dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Kedelapan, Kurikulum 2013, sebagai pengganti kurikulum KTSP. Kurikulum 2013 ini memiliki empat aspek penilaian yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, aspek sikap, dan perilaku.

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan, bahwa sistem kurikulum yang berubah tidak lepas dari dinamika perkembangan zaman. Perubahan kurikulum tidak dapat dipungkiri memang selalu menyesuaikan dengan perubahan masyarakat. Walaupun demikian, penulis berharap, bagaimanapun dan apapun bentuk kurikulumnya, tetap harus menjadi acuan dalam pelaksanaan pembelajaran. Lebih lanjut tetap merujuk pada tujuan pendidikan nasional seutuhnya, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (*)

(*) Penulis, Guru MTs Darul Fitri Leles, Kec. Leles  Kab. Garut