KANDAGA.ID – Masih ingat kepada Agus WF, beliau salah satu putra terbaik asal Garut yang terpilih sebagai Kepala Sekolah Indonesia Davao City (SID) di Filipina sejak Agustus 2016 lalu yang akan berakhir Agustus 2019 mendatang.

Agus mengatakan, tupoksi kepala sekolah sama, di Indonesia maupun di Philipina, karena disana juga jadi kepala sekolah Indonesia luar negeri.

“Yang membedakan disini (Indonesia-Red) kepala sekolah mengelola satu jenjang sekolah, kalau disana mengelola tiga jenjang SD, SMP dan SMA,” ujar Agus WF, didampingi Plt. Kadisdik Totong, S.Pd., M.SI., dan Plt. Sekretaris Drs. Yuda Imam Pribadi, saat berkunjung ke Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, Jalan Pembangunan, Kecamatan Tarogong Kidul, Senin (31/12/2018).

Agus menjelaskan, jumlah kepala sekolah di Indonesia di luar negeri ada 13 di Asean diantaranya Davao, Singapura, Kualalumpur, Bangkok, Yangon, dan lainnya. Selain itu ada fungsi atau tugas lain, yaitu sebagai ujung tombak promosi budaya Indonesia atau soft diplomasi.

“Jadi kita ataupun anak mesti siap kapan pun membantu kedutaan, konsulat untuk tampil di acara-acara Internasional ataupun negara setempat untuk membawakan, menampilkan, memperkenalkan seni budaya Indonesia. Makanya tidak aneh anak-anak disana trampil sekali di bidang seni, yang semuanya mencerminkan budaya Indonesia,” jelas Agus yang merindukan makanan Karedok dan Kupat Tahu ini.

Agus mengatakan, sarana prasarana juga berbeda, selain Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) di komandani dua kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Luar Negeri. Semua sarana menjadi tanggung jawab luar Kementerian Luar Negeri, sedangkan operasional ada dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui atase Pendidikan dan Kebudayaan yang ada sekolah itu.

“Jadi operasional gaji guru, pegawai, kemudian masalah kalau di kita kan ada BOS disana juga ada sebenarnya peningkatan mutu siswa itu dari Kemendikbud, semua kebutuhan asset, gedungnya, pembangunannya dan fasailitas lainnya, termasuk fasilitas pendukung seperti ruangan AC, meubeler dan sebagainya itu adalah tanggung jawab Kemenlu melalui kedutaan atau konsulat yang ada di daerah masing-masing,” ujarnya.

Menurut Agus, sebenarnya dari segi sarana bisa dikatakan sangat cukup, contohnya untuk IT komputer, selaian PC juga laptop, juga anak dibekali dengan Tab untuk medianya.

“Yang memudahkan siswanya tidak banyak, saya saja di sekolah Indonesia Davao itu, dari tiga jenjang itu SD, SMP, SMA hanya ada 107 siswa itu termasuk banyak, dibandingkan dengan Moscow hanya ada 14 siswa untuk tiga jenjang sekolah itu. Kemudian yang saya tahu Belanda ada 89 kalau tidak salah,” jelasnya.

Sementara itu, campur tangan orang tua untuk peningkatan mutu pendidikan, menurut Agus, itu tergantung bagaimana kesepakatan komite. Kalau memang dirasakan masih membutuhkan dana untuk peningkatan mutu, sebetulnya bisa.

“Tapi, pada umumnya peran serta orang tua yang tak mengingat. Contoh kalau yang saya tahu di Tokyo-Jepang, kan ada siswa yang salah satu orangtuanya menjadi komisaris Garuda Indonesia, bantuanya bisa dalam bentuk misalkan membantu mengangkut sarana prasana apalah buku yang ada di Indonesia untuk ke Tokyo, itu gratis,” jelasnya.

Contoh lain, Agus mengatakan, di Kualalumpur kebetulan Pak Duta Besarnya itu yang punya Lion Air, sangat hebat bantuannya untuk ke anak-anak, baik yang sedang belajar ataupun yang sudah meninggalkan sekolah Indonesia-Kualalumpur dalam bentuk beasiswa penerbangan, sebagai salah satu bentuk kepedulian orang tua,” ujarnya.

Agus menerangkan, ada juga yang memang kalau dirasakan sudah memadai kebutuhan siswa, ya tidak ada, atau bisa juga ada subsidi silang.

“Soalnya di SILN itu kan siswanya ada siswa yang memang orangtuanya dikatakan menengah keatas, terutama siswa yang orangtunya Diplomat, tetapi ada juga siswa yang betul-betul anak WNI yang mungkin dari segi ekonomi masih dibawah, itu kan bisa subsidi silang,” tambahnya.

Menurut Agus, sekolah Indonesia di luar negeri fungsinya untuk memfasilitasi pendidikan usia anak sekolah bagi WNI.

“Makanya kalau di Jeddah kan banyak sekali siswanya, sebab banyak anak TKI disana, juga di Kinabalu-Malaysia kalau tidak salah sampai 13.000 anak, tetapi di Kinabalu itu banyak siswa yang sekolahnya di Learning Centre (LC), itu seperti di SMP terbuka anak-anak TKI, itu betul-betul biaya APBN,” pungkasnya. (Jajang Sukmana)***