Bupati Garut bertemu dengan anak-anak SMP, saat berkunjung ke Kecamatan Caringin minggu lalu
Bupati Rudy Gunawan bersama perwakilan peserta didik jenjang SD, saat membuka kegiatan MPLS 2018 (garutkab.go.id)

Kabupaten Garut masih tergolong daerah tertinggal. Saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Jawa Barat, Kabupaten Garut menempati urutan ke tiga dari bawah. Itu artinya, pucuk pimpinan Kabupaten Garut yang saat ini dinahkodai Rudy Gunawan dan Helmi Budiman harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan.

Saat ini, Kabupaten Garut hanya lebih baik dari Kabupaten Cianjur yang menempati posisi paling buncit dan posisi ke dua terakhir diduduki Kabupaten Tasikmalaya. Kabupaten atau kota dengan IPM tertinggi adalah Kota Bandung dengan IPM sebesar 80,13. Kabupaten atau kota IPM terendah adalah Kabupaten Cianjur dengan IPM sebesar 62,92.

Ketimpangan antara Kabupaten atau kota dengan IPM tertinggi dan provinsi dengan IPM terendah adalah 17,21. Performa terbaik diraih oleh Kota Bogor dengan peningkatan IPM sebesar 0,85. Performa terburuk diraih oleh Kabupaten Pangandaran dengan peningkatan IPM sebesar 0,17.

Sedangkan IPM Kabupaten Garut hanya mencapai 65,42. Kendati angkanya mengalami kenaikan sebesar 0,90 dibandingkan 2017 yang mencapai 64,52, posisi IPM Garut tak beranjak, dan hanya menempati peringkat ke-25 dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, atau ketiga terbawah setelah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya.

Daya beli masyarakat Garut masih terendah dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat. Pengeluaran daya beli masyarakat Garut baru sebesar Rp7.579.000 per tahun, setara Rp631.584 per bulan. Rata-rata lama sekolah masyarakat Garut juga baru mencapai 7,5 tahun, dan menempati peringkat ke-18 dari 27 kabupaten/kota. Sedangkan Angka harapan hidupnya mencapai 71,03 tahun, atau menempati peringkat ke-12 dari 27 kabupaten/kota.

Raihan IPM Garut ini membuat Bupati Garut, Rudy Gunawan Berang. Bahkan dirinya sesumbar akan melakukan rotasi dan mutasi sejumlah pejabat secara besar-besaran untuk menggenjot IPM. Rudy mengaku, Garut masih ketinggalan di bidang pendidikan. Ia menyebut minat sekolah usia 25 tahun ke atas ikut paket kesetaraan masih kecil. “Mau tak mau harus identifikasi masalah itu (angka lama sekolah). Terutama untuk wilayah Garut selatan,” ujar Rudy.

Pendidikan di Garut selatan harus mendapat perbaikan. Sekaligus sebagai persiapan pemisahan Garut selatan dari Kabupaten Garut. “Kalau dibiarkan terus, IPM Garut selatan kalau nanti pisah bisa paling jeblok. Tapi kalau Kabupaten Garut bisa meningkat. Makanya kami genjot untuk terus meningkat sampai 2024,” katanya.

Bupati Garut bertemu dengan anak-anak SMP, saat berkunjung ke Kecamatan Caringin minggu lalu

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pendidikan Garut, Totong mengatakan, dirinya akan bekerja keras mengejar ketertinggalan. Ia tak menampik, rata-rata lama sekolah di Garut masih rendah. Totong berharap, semua pihak bisa berkontribusi dalam meningkatkan rata-rata lama sekolah. Pasalnya anggaran yang dibutuhkan sangat besar. “Sekarang kan ada dana desa atau CSR perusahaan jadi kita bisa berkolaborasi,” kata dia.

Menurutnya, biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah di Garut tak kurang dari Rp 25 Miliar. Estimasi tersebut didasarkan pada 15 ribu orang yang akan ikut kesetaraan. “Anggaran yang dibutuhkan tiap orangnya diperkirakan Rp 1,5 Juta. Jadi totalnya Rp 25 Miliar,” ungkapnya.

Totong menandaskan, IPM bidang pendidikan menjadi salah satu penilaian. Oleh sebab itu dirinya akan berusaha meningkatkan angka lama sekolah. “Sekarang ini rata-rata lama sekolah penduduk Garut usia 25 tahun ke atas itu hanya menempuh 7,5 tahun atau setara dengan kelas 1 SMP,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut H Totong SPd, MPd usai penyampaian Strategi Akselerasi Capaian IPM Pendidikan di Pendopo Garut.

Pihaknya ingin meningkatkan angka sekolah nonformal di Kabupaten Garut. Tetapi untuk melakukan itu, butuh anggaran yang tidak sedikit. Maka dari itu pihaknya menggandeng berbagai pihak, dari mulai perusahaan, intansi dan lainnya.

Dengan sinergitas dan kolaborasi, dirinya optimis target peningkatan IPM pendidikan di Kabupaten Garut bisa tercapai. “Anggaran yang diperlukan tidak sedikit. Makanya program pentahelix harus ditempuh. Artinya perlu kolaborasi dari APBD, dana desa, CSR perusahaan dan Baznas Garut,” katanya.

Totong akan fokus menggarap pendidikan nonformal. Dari Data Pokok Pendidikan Masyarakat (Dapodikmas), kata dia, ada 15 ribu masyarakat yang ikut paket kesetaraan. Jumlah itu terbilang masih kecil dan perlu kembali didata. “Belum terdata semua,” ujarnya.

Menurutnya, data dari BPS ada 300.000 warga Garut yang masih belum memiliki ijazah. Baik tingkat sekolah dasar, SMP atau SMA. “Nanti kita akan cocokan datanya. Dari BPS 300.000 warga Garut belum miliki ijazah,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Segi Garut, Apar Rustam mengatakan, persoalan pendidikan harus segera dibenahi. Beberapa di antaranya yaitu persoalan kekurangan guru, sarana pendidikan dan dukungan para orang tua untuk menyekolahkan anaknya.

Hal tersebut bertujuan agar nilai rata-rata sekolah di Garut bisa naik dan lebih baik. “Di samping itu tentunya nasib atau status guru honorer juga harus terus diperjuangkan atau dicarikan solusinya agar kesejahteraanya layak,” kata Apar.

Apar menyebutkan, sekarang ini memang banyak persoalan dalam bidang pendidikan. Namun jika semua persoalan ini diatasi secara serius niscaya semuanya dapat dipecahkan. Saat ini, kata Apar, rata-rata lama sekolah warga Garut baru mencapai 7,5 tahun. Itu artinya, jika dirata-ratakan semua warga Garut baru masuk SMP.

Capaian itu, tentunya sangat mempengaruhi terhadap capaian IPM Kabupaten Garut. Maka tak heran, jika posisi Kabupaten Garut dalam raihan IPM hanya menempati posisi rendah di Jawa Barat. Apar menilai, ini merupakan tantangan bagi pemerintah daerah saat ini. Bagaimana angka lama sekolah di Kabupaten Garut ini harus ditingkatkan. IPM di bidang pendidikan juga harus ditingkatkan.

Apar mengaku, sarana pendidikan di Garut juga masih minim. Ia melihat banyak sekolah dengan ruang belajar yang di bawah standar pelayanan pendidikan.”Jangankan didukung dengan perangkat pendidikan yang memadai, ruang kelasnya saja mau ambruk. Bagaiaman proses belajar mengajar akan baik,” katanya.

Apalagi sekarang ini problem yang terjadi, lanjut Apar, minat orang tua siswa di Garut untuk menyekolahkan anaknya masih rendah. Hal ini harus terus diupayakan agar kesadaran orang tua dalam menyekolahkan anaknya terus meningkat. Oleh karena itu, peran pemerintah harus hadir dalam peningkatan kualitas pendidikan ini. Kebijakan APBD sebesar 20 persen harus benar-benar diterapkan. Di sisi lain, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) di Kabupaten Garut ikut serta dalam meningkatkan angka rata-rata lama sekolah. Ujian kesetaraan pun tiap tahun dilaksanakan.

Salah satunya PKBM Gentra Sawargi, Kampung Cikancung, Desa Margalaksana, Kecamatan Cilawu, Garut. Di tempat ini, banyak warga yang ikut serta dalam kesetaraan pendidikan. Bahkan ada peserta yang sudah berusia senja masih ikut ujian. Ketua PKBM Gentra Sawargi, H. Acun Gunadi, mengatakan, jumlah warga di Garut yang belum menempuh pendidikan setara SMP maupun SMA jumlahnya cukup banyak, mencapai ribuan.  Untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) sektor pendidikan di Garut, upaya penyetaraan harus menjadi prioritas utama pemerintah. “Kita sedang menggembar-gemborkan wajib belajar pendidikan dasar atau wajar dikdas 9 tahun, sementara non formal tidak digali, kapan selesainya? Wajar Dikdas bisa terpenuhi kalau non formal melalui program kesetaraan paket A, B, maupun C terus digaungkan,” kata Acun didampingi sang istri, Hj.Atik Rustika.

Para peserta yang mengikuti UNBK di PKBM Gentra Sawargi tiap tahunnya mencapai puluhan orang. Peserta paling tua berumur 38 tahun, dan sebagian besar mereka tenaga honorer di sejumlah perkantoran baik swasta maupun negeri. Mata pelajaran yang diujiankan pun tidak jauh berbeda dengan SMP dan SMA pada umumnya. Acun menyebutkan, pelaksanaan kesetaraan UNBK di Garut secara mandiri dilakukan oleh PKBM Gentra Sawargi. Artinya segala sesuatunya dikelola secara mandiri, tanpa bantuan dari pemerintah. nFarhan SN