Kepala RSU Garut, dr Slamet, gugur saat memerangi wabah sampar yang melanda Garut di zaman kolonial (foto koleksi Atep Kurnia di AyoBandung.com)

Merajalelanya virus COVID-19 hampir saja memporak porandakan tatanan dunia. Virus yang pertama  kali menyebar di Wuhan, Republik Rakyat Tiongkok pada bulan Desember tahun lalu ini, kini telah menjadi ancaman kesehatan global yang akhirnya memaksa Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkannya sebagai pandemi. Penyebarannya yang begitu masif dan cepat telah memakan korban hingga 2 juta orang dengan jumlah kematian di seluruh dunia mencapai 126.761 orang

Dari jumlah kematian sebanyak itu, didalamnya terselip para dokter dan paramedis yang harus gugur saat menjalankan tugasnya. Di Indonesia tercatat sudah 18 dokter dan 6 paramedis yang meninggal karena terpapar virus COVID-19 dari para pasien yang ditanganinya. Berada di garda terdepan dalam memerangi virus corona, membuat posisi mereka sangat rentan untuk terpapar dan akhirnya harus meregang nyawa demi kesembuhan para pasiennya

Jauh sebelum ini terjadi, Di Garut pernah ada seorang dokter yang juga gugur saat memerangi wabah penyakit. Sejarah mencatat beberapa tahun lamanya warga di Kabupaten Garut terpapar virus mematikan yaitu sampar atau pes. Untuk memerangi wabah tersebut pemerintah kolonial Belanda menugaskan  kepala rumah sakit di Garut, dr. Mas Slamet Atmosoediiro sebagai ketua tim untuk memberantas wabah tersebut.

Seorang penggiat literasi dan pemerhati budaya Sunda, Atep Kurnia di laman AyoBandung.com menulis, dr Mas Slamet Atmosoediro (1891-1930) menjadi martil dalam tugasnya memerangi wabah penyakit pes yang mewabah di Bandung dan Garut sekira tahun 1930 an. Merujuk pada literatur yang ditemukannya, Atep mengungkapkan, Mas Slamet Atmosoediro lahir di Lampegan pada 1891 dan lulus dari OSVIA pada 21 Juni 1916.   Bersama kawan-kawan seangkatannya dr Slamet diangkat sebagai dokter dari kaum pribumi (Inlandsch arts) pada Burgerlijken Geneeskundigen Dienst oleh Hoofdinspecteur, Chef van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst pada 1916.

Dalam catatan Atep, dr Slamet pertama kali ditugaskan di  Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ), Weltevreden, Batavia, atau kini menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 1916.  Kemudian pada 1918,  dialihkan ke Tobelo, Ternate, Maluku, hingga tahun 1921. Pada tahun 1922 kembali bertugas di Batavia dan pada 1925 mulai ditugaskan di Garut. Setahun bertugas, tahun 1926 terjadi kasus pembunuhan orang Belanda yang bernama Nyonya H. Campbell-MacFie di Cibatu, Garut, oleh pengadilan dr Slamet dijadikan saksi ahli dalam kasus tersebut

Semakin mewabahnya sampar atau penyakit pes di Garut, tahun 1927 membuatnya berada di garda terdepan untuk memerangi virus mematikan tersebut. Bertahun-tahun lamanya, dr Slamet memerangi sampar, totalitasnya dalam bertugas mengantarkannya ditunjuk sebagai kepala rumah sakit tahun 1929, jabatan itu harus ditinggalkannya karena pada tahun 1930, dr slamet meninggal dunia, penyebabnya diduga karena ia terpapar wabah sampar

Dari data yang dihimpun dari Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië edisi 13 dan 14 Mei 1930, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie 1930, dan De Indische Courant edisi 19 Agustus 1930, Atep mengisahkan, Pada awal Mei 1930, dr Slamet menangani pasien seorang anak yang dibawa orangtuanya dari Bojongloa Bandung ke Garut. Sehari setelah dirawat, anak tersebut kemudian meninggal karena penyakit sampar.

Meninggalnya pasien tersebut mendorong dr Slamet untuk melakukan penelitian lebih lanjut, ia belum terlalu yakin kematian pasiennya karena sampar, tetapi beberapa orang di lingkungan pasien itu mengalami demam tinggi sebelum meninggal dan setelah di diagnosa mereka terpapar sampar. Hal yang sama akhirnya dirasakan dr Slamet, Sabtu malam, 9 Mei 1930, ia sakit dan kondisinya terus memburuk. Esoknya ia memutuskan untuk berobat ke Rumah Sakit Provinsi di Tasikmalaya karena di sana peralatan medisnya relatif lebih lengkap. Karena kondisinya yang kian memburuk, akhirnya dr Slamet meninggal tanggal 19 Mei 1930. Ia meninggalkan seorang istri dan lima orang anaknya yang masih kecil, bahkan anak bungsunya baru berusia dua minggu. Dari hasil pemeriksaan dokter Parjono dan dr Soekardjo disimpulkan, kematiannya akibat terpapar sampar dari pasien yang ditanganinya

Kematian dr Slamet dalam usia yang cukup muda, 38 tahun , membuat warga di Garut panik karena kematiannya disusul 20 orang lainnya termasuk di dalamnya mantri, perawat dan mahasiswa kedokteran yang turut menangani dr Slamet. Dalam catatan Atep, pada 12 Mei 1930, sore, jasad dokter Slamet dikebumikan. Orang yang mengiringi dan menghadiri pemakamannya sangat banyak. Di antaranya, ada Dr. Ch. WE. Winckel (Inspektur Kesehatan Umum Jawa Barat), asisten residen, mantan bupati dan bupati Garut, Oto Subrata (anggota Volksraad), semua wadana dari Priangan Timur, beberapa adminstatur perkebunan, semua staf rumah sakit Garut, dan banyak juga kalangan orang Eropa. Setelah penghulu Garut membacakan doa, disambung sambutan-sambutan dari Dr. Winckel, Bupati Garut Soeriakartalegawa, dan Asisten Residen A.A.C. Linek (atas nama Gubernur Jawa Barat dan Residen Priangan Timur).

Atas pengabdian dan dedikasinya yang cukup tinggi, serta untuk mengenang jasa-jasanya, alm dr Slamet diabadikan sebagai nama jalan di Bandung pada tahun 1950 dan Sejak 1979, berdasarkan SK Menkes RI nomor 51/Men.Kes/SK/II/79, namanya juga diabadikan sebagai nama rumah sakit di Garut. *** Herdy M Paranadinata