“….Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia”

Pernyataan tersebut keluar dari bibir Bapak Proklamator kita, Soekarno. Kalimat itu seakan memberikan kesan betapa dahsyatnya kekuatan pemuda. Dalam sejarah revolusi bangsa ini, pemuda selalu berada di garda depan perjuangan pada masanya.

Pada masa kolonialisme dan awal kemerdekaan, pemuda memiliki semangat dan keberanian yang luar biasa. Patriotisme mengalir dalam darah mereka, dan nasionalisme berdetak dalam jantung mereka. Pemuda pada masa ini berani mengangkat senjata dan tidak peduli seberapa kuat kemampuan para penjajah. Tujuan mereka hanya satu, yakni kemerdekaan.

Realita Saat Ini

Puluhan tahun setelah kemerdekaan, kaum muda seakan lupa dengan potensinya sehingga tidak memiliki motivasi kuat untuk berkontribusi dalam kemajuan tanah air ini. Jika kaum muda bersikap apatis terhadap negaranya, maka hal itu akan berbanding lurus dengan kekuatan negara tersebut. Kekuatan suatu negara bukan terletak pada kuantitas pemuda yang banyak, melainkan terletak pada kualitas pemuda yang layak.

Berbicara tentang kuantitas, negara kita memang unggul. Ditinjau dari segi demografis, negara yang berjuluk “zamrud khatulistiwa” ini dihuni oleh sekitar 262 juta jiwa dan didominasi oleh kaum muda. Dengan kata lain, usia produktif di Indonesia cukup banyak. Lantas, bagaimana dengan kualitasnya? Kualitas SDM di negara ini masih berbanding terbalik dengan kuantitasnya.

Salah satu penyebab masih rendahnya kualitas pemuda di negara ini ialah aspek moral. Dalam KBBI, moral ialah (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral juga bersinggungan dengan akhlak, budi pekerti, dan susila. Thomas Lickona (dalam buku Educating for Character halaman 61) menyatakan bahwa nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan adalah hal-hal yang dituntut dalam kehidupan ini. Nilai-nilai moral meminta kita untuk melaksanakan apa yang sebaiknya kita lakukan. Kita harus melakukannya bahkan kalaupun sebenarnya kita tidak ingin melakukannya.

Masalahnya, konsep moral tersebut seakan lenyap dari diri pemuda. Belakangan ini marak perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pemuda, ucapan amoral di media sosial, tindakan asusila yang dilakukan oleh kaum muda, dan masih banyak kasus-kasus berupa penyimpangan yang dilakukan oleh pemuda.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan data peningkatan kenakalan remaja dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 angka kenakalan remaja di Indonesia mencapai 6.325 kasus, sedangkan pada tahun 2014 jumlahnya mencapai 7.007 kasus dan pada tahun 2015 mencapai 7.762 kasus. Artinya dari tahun ke tahun, peningkatan angka kenakalan remaja di Indonesia ialah 10,7%.  Jika kenaikan tiap tahunnya sebesar 10,7%, maka kemungkinan kasus yang terjadi pada tahun 2018 ialah 10.549 kasus. Angka ini perlu dijadikan bahan refleksi untuk kaum muda. Pemuda yang diklaim sebagai generasi penerus bangsa, tidak seharusnya melakukan tindakan yang menyeleweng dari nilai-nilai luhur bangsa.

Globalisasi

Tak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya degradasi moral yang kini menyergap kaum muda, satu diantaranya ialah globalisasi. Globalisasi dapat diartikan sebagai proses penyebaran unsur-unsur baru, khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak maupun elektronik. Globalisasi seperti pedang bermata dua, artinya memiliki sisi positif dan sisi negatif. Globalisasi menjadi penyebab infiltrasi budaya. Hal ini dibuktikan dengan fenomena budaya hidup barat (yang cenderung liberal) yang mulai merasuki budaya ketimuran (yang cenderung teratur dan terpelihara oleh nilai agama dan norma). Parahnya, dampak negatif dari arus globalisasi ini ialah pergeseran budaya yang mengarah pada krisis moral dan akhlak, sehingga mendongkrak angka kriminalitas di tanah air ini.

Sebagai generasi milenial, kaum muda seakan terjebak dalam lingkungan yang lebih mengedepankan corak hedonisme. Mereka seperti kehilangan arah dan tujuan sehingga dibutakan oleh kesenangan sesaat.

Kaum muda khususnya remaja putri saat ini sudah menyalahartikan emansipasi yang sebenarnya. Dilihat dari cara berpakaian yang cenderung terbuka dan ketat, atau berpakaian tapi seperti telanjang. Fungsi pakaian yang seharusnya sebagai penutup malah terlihat seperti membungkus saja. Selain itu, mereka tidak malu memajang foto-foto yang kurang etis di akun media sosial. Mereka seperti lupa bagaimana peran R.A Kartini dulu dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Emansipasi mereka gadaikan pada kesenangan yang bersifat duniawi.

Pendidikan Moral

Menyikapi problematik tersebut, perlu adanya pendidikan moral. Pendidikan moral tidak hanya berlangsung dalam pendidikan formal di sekolah, melainkan tetap berlangsung di lingkungan keluarga dan masyarakat. Seperti yang tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Tri Pusat Pendidikan meliputi pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat.

Penanaman nilai moral yang paling pertama dan utama adalah lingkungan keluarga. Orang tua harus selalu memberikan contoh yang baik untuk anak-anak, karena kebiasaan orang tua di rumah akan ditiru oleh anak. Selain memberikan contoh yang baik, tindakan yang dapat mencegah terjadinya kebobrokan moral ialah menanamkan nilai-nilai keimanan pada anak. Jika setiap anggota keluarga memiliki keyakinan yang kuat kepada Tuhannya, maka ia akan tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tindakan preventif lainnya ialah membangun keluarga yang harmonis sehingga bisa saling menghargai, melindungi, dan menyayangi satu sama lain. Namun, tidak selamanya tindakan preventif orang tua dinilai efektif. Sering kali hal yang dikhawatirkan oleh orang tua malah terjadi, misal anaknya terlibat pada kasus kenakalan remaja. Marah, kecewa, dan sedih merupakan reaksi normal orang tua ketika mengetahui anaknya terlibat dalam dunia hitam seperti itu. Tapi perlu diingat bahwa orang tua tidak harus membentak anak menggunakan kata-kata kasar dengan nada yang tinggi, karena hal itu hanya akan  memperparah keadaan. Tindakan kuratif yang patut dicoba ialah mengajak anak berbicara. Berbicara dalam hal ini bukan berarti mengintrogasinya. Orang tua dianjurkan untuk mendengarkan penjelasan anak, lalu memberinya pengertian. Pada dasarnya, anak-anak yang melakukan penyimpangan ialah mereka yang membutuhkan perhatian dan pengertian.

Setelah peranan lingkungan keluarga, terdapat pula peranan lingkungan sekolah. Di lingkungan ini, mereka mulai mengenal dunia luar. Oleh karena itu pendidik harus aktif dalam memberikan penanaman moral. Perlu disadari oleh pendidik, bahwa dalam pembelajaran pada abad ke-21 ini, tugas pendidik bukan lagi menjejali anak didik dengan berbagai konsep ilmu, tidak hanya mentransfer ilmu dan pengetahuan, melainkan perlu menyisipkan nilai-nilai moral kepada anak didik. Jadi pembelajaran pada abad ke-21 ini tidak hanya berorientasi pada aspek kognitif, melainkan pada aspek afektif dan psikomotor. Dengan begitu mereka dapat menanamkan dan menerapkan sikap yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Selain lingkungan keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat juga berkontribusi dalam pendidikan moral. Anak akan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat. Di lingkungan masyarakat juga anak dapat mempraktikkan apa yang mereka terima dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah.

Konklusi

Kita memang tidak bisa mengelak situasi hari ini. Fenomena saat ini memang berbeda dari keadaan beberapa tahun silam. Pengaruh buruk globalisasi sudah menyergap generasi milenial sehingga berakibat pada degradasi moral. Namun problematik itu dapat diatasi melalui tindakan  preventif dan kuratif melalui pendidikan moral di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika pendidikan tanpa dilandasi moral, maka hasil dari pendidikan sekedar membentuk abad tanpa adab. Seperti yang diinterpretasikan oleh T. Roosevelt dalam buku Educating For Character,  “mendidik seseorang hanya untuk berpikir dengan akal tanpa disertai pendidikan moral berarti membangun suatu ancaman dalam kehidupan bermasyarakat.” (Fitri Ayu Febrianti)***