Prof. Dr. Mohamad Surya

Masih segar dalam ingatan sekitar tahun enampuluhan yang waktu itu saya sebagai seorang guru SD, seorang guru yang mengajar di tingkat menengah atas dengan nada sinis mengatakan bahwa guru SD itu guru adalah “guru koden”.

“Koden” berasal dari kata kodian yang biasanya harganya lebih murah dan mutunya lebih rendah. Ungkapan ini saya rasakan sebagai suatu pelecehan terhadap sosok guru SD yang menganggap guru SD itu sebagai guru yang bermutu rendah dan berada dalam kasta tingkatan rendah dibanding dengan guru di sekolah lanjutan baik pertama maupun atas. Hati saya sungguh merasa prihatin dari kalangan guru itu sendiri masih ada anggapan pengkastaan terhadap guru berdasarkan jenjang tempat bertugas dan guru SD dipandang sebagai kasta terendah.

Saya tidak menerima ungkapan itu karena saya merasakan langsung bahwa di pundak guru SD itulah tanggung jawab membangun fondasi karakter sebagai refleksi kepribadian. Mungkin dari sudut materi yang diajarkan memang dapat dipandang mudah namun menjadi guru SD bukan sekedar itu akan tetapi memiliki tanggung jawab untuk membangun karakter yang akan menjadi fondasi bagi perkembangan kepribadian dalam perjalanan hidup selanjutnya. Hal itu merupakan warisan pola pikir di zaman kolonial Belanda.

 

Tak ada satupun sarjana yang tidak melewati pintu Sekolah Dasar.

Pada masa itu pemerintah kolonial Belanda dengan dalih “politik etis” memberikan pendidikan bagi rakyat Indonesia, namun sebenarnya bukan pendidikan yang sesungguhnya. Mengapa? Dalam prakteknya yang dilaksanakan adalah bentuk pengajaran agar sekedar bisa baca tulis untuk kemudian dijadikan tenaga kerja yang membantu pemerintah kolonial dalam kepentingan penjajah termasuk membantu menindas rakyat Indonesia yang dibiarkan buta huruf dan bodoh. Pada masa itu pendidikan dipersempit dengan pengajaran dan dipersempit lagi agar sekedar bisa baca tulis. Gurunyapun dibuat sederhana yaitu sekadar bisa mengajar membaca dan menulis jad tidak perlu tinggi-tinggi terutama untuk sekolah dasar.

Pada masa penjajahan, Guru SD cukup dengan kursus singkat untuk kemudian dijadikan guru, sementara untuk guru sekolah menengah didatangkan guru-guru bangsa Belanda atau orang pribumi keturunan bangsawan.

Pola pikir menyempitkan pendidikan sebagai pengajaran masih berlangsung di awal kemerdekaan, menjadi guru cukup menyampaikan materi ajar yang di SD dipandang sebaga materi sederhana.. Guru SD cukup lulusan CVO atau kemudian berkembang menjadi KpKpKb dan berlanjut hingga lulusan SGB dan SGA. Dengan demikian pola pikir yang ada pada waktu itu adalah guru SD tidak perlu pendidikan tinggi-tinggi karena materi yang disampaikan cukup sederhana, sementara kalau di Sekolah Menengah materinya lebih kompleks dan abstrak sehingga perlu pendidikan yang lebih tinggi.

Keadaan ini membuat guru seolah berada dalam kasta-kasta di mana guru SD sering dipandang dalam kasta terendah. Dari sudut pendidikannya, guru SD cukup lulusan SGB atau SGA yang kemudian berkembang cukup dengan Diploma II, guru SMP D-III, dan guru SMA S-1. Dari sudut hak-haknya baik pendapatan maupun jenjang karirnya terdapat perbedaan perlakuan terhadap guru SD dan Sekolah Menengah. Pola pikir inilah yang seharusnya diubah karena sejatinya tugas guru bukan sekadar mengajar atau menyampaikan materi ajar, akan tetapi lebih dari itu yaitu membangun karakter dan kepribadian secara utuh.

Guru SD berperan paling fundamental karena mempersiapkan fundasi kepribadian yang akan menjadi modal dalam proses pembelajaran sebagai bekal memasuki kehidupan selanjutnya.

Hal ini bermakna bahwa guru SD tidak sekadar dipandang menyampaikan materi sederhana yang katanya semua orang bisa melakukannya. Dalam pola pikir sempit mungkin ya, tetapi dalam pola pikir “pedagogis” membangun kepribadian berkarakter tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Fokus utama pendidikan di SD adalah membangun kepribadian, maka guru SD harus mampu membangun kepribadian. Pola pikir berikutnya adalah sangat tidak tepat apabila memperlakukan guru secara diskriminatif dengan membuat lapis-lapis laksana kasta di mana guru SD dipandang sebagai kasta terendah. Ini keliru, salah, dan tidak manusiawi. Pola pikir yang harus dijadikan landasan adalah bahwa semua guru memiliki hak azasi dan kewajiban yang sama, yang membedakannya hanyalah bidang tugas pengabdiannya.

Bersyukurlah sejak keluarnya Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, secara konstitusional pola pikir itu sudah memberikan jaminan tidak ada pengkastaan diskriminatif terhadap para guru. Menurut Undang-undang tersebut semua guru harus profesional dengan pendidikan minimal S-1, memiliki kompetensi pribadi, sosial, professional, dan pedagogik yang dinyatakan dengan memiliki sertifikat pendidik. Secara konseptual dan dikuatkan dengan payung hukum undang-undang tersebut maka para guru akan tampil sebagai guru.yang professional, sejahtera, dan terlindungi serta bermartabat. Namun dalam pelaksanaannya masih dirasakan banyak kendala, karena mengubah pola pikir dan pelaksanaan pada tingkatan manajerial dan birokrasi tidak semudah membalik telapak tangan dan memerlukan waktu. Namun kita yakin pemerintah dan semua pihak pemangku kepentingan akan terus berusaha secara sinergik memecahkan berbagai masalah terkait guru.

Sekolah dasar merupakan pendidikan formal yang paling awal diterima oleh peserta didik setelah pendidikan dalam keluarga yang lebih bersifat informal

Pendidikan di sekolah dasar juga merupakan pendidikan awal sebelum memasuki ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMP dan sekolah menengah baik umum maupun kejuruan. Disamping itu Sekolah Dasar merupakan pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Dapat dikatakan bahwa pendidikan di sekolah dasar merupakan pendidikan antara (“in between”) atau pendidikan peralihan (transisi) yang berfungsi sebagai landasan untuk melanjutkan dan memantapkan dasar-dasar pendidikan yang telah diperoleh dalam keluarga, untuk selanjutnya dikembangkan sehingga mereka memiliki kemampuan untuk dapat hidup di masyarakat dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sekolah dasar pada hakekatnya merupakan suatu periode pembentukan (formative years), karena pada periode ini terjadi berbagai pembentukan dasar bagi perkembangan kepribadian di masa yang akan datang. Dasar-dasar intelektual, sosial, fisikal, nilai dan moral, dibentuk pada masa sekolah dasar dengan dasar hasil bawaan dari keluarga. Dasar-dasar ini kemudian dimantapkan di SMP sehingga pada saat meninggalkan usia masa anak-anak dan memasuki usia masa remaja, mereka sudah memiliki bekal dasar. Fundasi sumber daya manusia ini sangat tergantung pada kualitas pendidikan yang diberikan di sekolah dasar.

Berdasarkan renungan pengalaman menjadi guru selama lebih dari setengah abad yang diawali sebagai guru SD, saya merasakan bahwa sebagai pendidik itu sesungguhnya pada guru SD

Guru SD-lah sebagai pelanjut pendidikan di keluarga, karena SD merupakan gerbang awal tatkala anak memasuki pendidikan formal di sekolah. Guru SD-lah yang mengawali anak memperoleh pendidikan formal sebagai landasan untuk bekal pendidikan dan kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu pada tempatnya kalau guru SD itu mendapat perhatian dan dipandang sebagai peletak fondasi sumber daya manusia bagi perkembangannya di masa datang. Kekokohan sebuah bangunan gedung amat tergantung dari kekuatan fondasi yang dibangun, dan dalam kenyataannya orang tidak melihat fondasinya akan tetapi wujud gedung di atas permukaan tanah, orang melupakan mereka yang mengerjakan fondasinya. Begitulah guru SD sebagai peletak dan pembangun fondasi sering dilupakan.

Melalui refleksi pengalaman ini saya berharap agar semua pihak benar-benar menyadari akan peran guru SD dan selanjutnya memberikan pola pandang yang lebih obyektif dan apresiatif. Saya bersyukur karena memiliki pengalaman awal sebagai guru justru di SD jenjang pendidikan yang paling awal dan strategis.